Politikindonesia - PT Pertamina (Persero) merasa dikangkangi PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Betapa tidak. Sebuah perusahaan yang gagal memenuhi kontrak pasokan minyak dengan perusahaannya, justru memenangkan tender untuk memasok solar ke PT PLN (Persero). Etika bisnis TPPI pun digugat.
Keberatan soal TPPI muncul pasca penetapan PLN bahwa TPPI termasuk salah satu pemenang tender pengadaan solar 1,25 juta kiloliter per tahun yang diadakan PLN. Direktur Utama PLN Dahlan Iskan di Kantor Pusat PLN, Selasa (05/10) mengatakan Pertamina maupun TPPI adalah pemenang tender pengadaan solar yang dilaksanakan PLN. “Pertamina menang banyak, TPPI menang sedikit.”
Pertamina memenangi tender pengadaan minyak solar untuk tiga lokasi pembangkit yakni, PLTGU Muara Tawar, Bekasi, PLTGU Grati, Gresik, dan PLTGU Muara Karang, Jakarta Utara. Sedang, TPPI menang tender di dua lokasi yakni PLTGU Tambak Lorok, Semarang dan PLTGU Belawan, Medan.
Khusus soal TPPI, Dahlan menerangkan, dipilihnya TPPI sebagai salah satu pemenang tender tersebut karena TPPI memberikan penawaran yang terbaik kepada perseroan. Selain itu, lanjut dia, berdasarkan hasil due diligent menunjukkan spesifikasi BBM yang dimiliki TPPI sudah sesuai dan berkomitmen mampu memasok BBM sesuai dengan kontraknya. “Tujuannya adalah penghematan. Lagipula sudah di-due diligent dari pihak profesional spesifikasi BBM-nya sudah sesuai,” tambahnya.
Akan tetapi kemenangan itu menjadi persoalan bagi Pertamina. Vice President Corporate Communication Pertamina, M. Harun, di Jakarta, Selasa, mengatakan, TPPI gagal memenuhi kontraknya dengan Pertamina. “Kita protes keras.”
Berdasarkan kontrak bisnis, TPPI mempunyai kewajiban menyerahkan produk bahan bakar minyak (BBM) senilai US$50 juta per enam bulan kepada Pertamina. Namun, selama 1,5 tahun terakhir ini, sambung Harun, TPPI tidak pernah menyerahkan kewajibannya tersebut. Artinya, kewajiban TPPI yang tertunggak sudah setara dengan US$150 juta. Lantas, ucap Harun, sekarang TPPI mau menjual produknya ke PLN. “Bagaimana etika bisnisnya?” katanya.
Menurut Harun, TPPI telah melanggar kontrak bisnis dengan Pertamina. “Kalau TPPI memenuhi kontraknya ke Pertamina, maka TPPI tidak mampu suplai ke PLN," ujar dia.
Dikatakan Harun, TPPI mempunyai kewajiban utang senilai US$600 juta ke Pertamina. Sebagian pembayaran dilakukan melalui penyerahan produk senilai 50 juta dolar AS setiap enam bulan sekali itu. Pertamina sendiri, sudah menjatuhkan status "default" (lalai) sebanyak dua kali kepada TPPI karena tidak melakukan pembayaran utangnya. Bahkan, Pertamina sudah mendaftarkan gugatan ke arbitrase nasional terkait sengketa utang TPPI tersebut.
Harun juga mengatakan, kalau diberikan kesempatan, Pertamina akan memberikan nilai penghematan yang sama dengan TPPI. “Kalau diberikan RTM (right to match atau hak menyamakan penawar terendah), penghematan yang sama bisa kita berikan," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji menyatakan jika TPPI memenangkan tender, maka bisa memberikan penghematan hingga Rp450 miliar ke PLN. TPPI diketahui telah menawarkan harga BBM sekitar 103% dari harga patokan di Singapura (mid oil Platt's of Singapore/MOPS).
Harun melanjutkan, sebagai sesama BUMN, pihaknya mengingatkan PLN agar tidak salah melangkah dan nantinya menjadi permasalahan di belakang hari. “Kami tidak ingin PLN jadi merugi karena persoalan ini,” ujar dia.
Usut Kejanggalan
Protes atas tender PLN ini tidak hanya datang dari Pertamina saja. Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PKS Achmad Rilyadi mengatakan, pihaknya merekomendasikan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyelidiki kejanggalan tender minyak solar PLN tersebut.
Dalam pandangan Achmad, tidak selayaknya PLN memenangkan TPPI yang mempunyai kualitas minyak solar tidak sesuai spesifikasi tender, juga kewajiban utang hingga US$600 juta ke Pertamina. Dia pun berencana untuk mempertanyakan kemenangan TPPI itu dalam rapat-rapat Komisi VII DPR dengan BUMN tersebut.
Terkait masalah utang TPPI ke Pertamina, anggota Komisi VII DPR Romahurmuziy sebelumnya menjelaskan bahwa di dalam perjanjian kerja antara keduanya, TPPI tidak diperbolehkan menjual hasil kilangnya langsung kepada umum melainkan melalui Pertamina.
Oleh karena itu, tindakan PLN yang memenangkan TPPI dinilai akan menghambat penyelesaian utang TPPI kepada Pertamina. Romahurmuziy mengatakan, masalah TPPI ini sudah pernah diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PLN.
Akan tetapi, ujar dia, PLN bersikukuh tidak ada persyaratan sebagai rekanan yang tidak dipenuhi. “Atas hal tersebut dan dimenangkannya TPPI, saya akan tetap mengagendakan pemanggilan PLN dalam topik efisiensi, bersamaan dengan pembahasan anggaran subsidi,” ujar Romahurmuziy, Selasa kemarin.
(zel/yk) Keberatan soal TPPI muncul pasca penetapan PLN bahwa TPPI termasuk salah satu pemenang tender pengadaan solar 1,25 juta kiloliter per tahun yang diadakan PLN. Direktur Utama PLN Dahlan Iskan di Kantor Pusat PLN, Selasa (05/10) mengatakan Pertamina maupun TPPI adalah pemenang tender pengadaan solar yang dilaksanakan PLN. “Pertamina menang banyak, TPPI menang sedikit.”
Pertamina memenangi tender pengadaan minyak solar untuk tiga lokasi pembangkit yakni, PLTGU Muara Tawar, Bekasi, PLTGU Grati, Gresik, dan PLTGU Muara Karang, Jakarta Utara. Sedang, TPPI menang tender di dua lokasi yakni PLTGU Tambak Lorok, Semarang dan PLTGU Belawan, Medan.
Khusus soal TPPI, Dahlan menerangkan, dipilihnya TPPI sebagai salah satu pemenang tender tersebut karena TPPI memberikan penawaran yang terbaik kepada perseroan. Selain itu, lanjut dia, berdasarkan hasil due diligent menunjukkan spesifikasi BBM yang dimiliki TPPI sudah sesuai dan berkomitmen mampu memasok BBM sesuai dengan kontraknya. “Tujuannya adalah penghematan. Lagipula sudah di-due diligent dari pihak profesional spesifikasi BBM-nya sudah sesuai,” tambahnya.
Akan tetapi kemenangan itu menjadi persoalan bagi Pertamina. Vice President Corporate Communication Pertamina, M. Harun, di Jakarta, Selasa, mengatakan, TPPI gagal memenuhi kontraknya dengan Pertamina. “Kita protes keras.”
Berdasarkan kontrak bisnis, TPPI mempunyai kewajiban menyerahkan produk bahan bakar minyak (BBM) senilai US$50 juta per enam bulan kepada Pertamina. Namun, selama 1,5 tahun terakhir ini, sambung Harun, TPPI tidak pernah menyerahkan kewajibannya tersebut. Artinya, kewajiban TPPI yang tertunggak sudah setara dengan US$150 juta. Lantas, ucap Harun, sekarang TPPI mau menjual produknya ke PLN. “Bagaimana etika bisnisnya?” katanya.
Menurut Harun, TPPI telah melanggar kontrak bisnis dengan Pertamina. “Kalau TPPI memenuhi kontraknya ke Pertamina, maka TPPI tidak mampu suplai ke PLN," ujar dia.
Dikatakan Harun, TPPI mempunyai kewajiban utang senilai US$600 juta ke Pertamina. Sebagian pembayaran dilakukan melalui penyerahan produk senilai 50 juta dolar AS setiap enam bulan sekali itu. Pertamina sendiri, sudah menjatuhkan status "default" (lalai) sebanyak dua kali kepada TPPI karena tidak melakukan pembayaran utangnya. Bahkan, Pertamina sudah mendaftarkan gugatan ke arbitrase nasional terkait sengketa utang TPPI tersebut.
Harun juga mengatakan, kalau diberikan kesempatan, Pertamina akan memberikan nilai penghematan yang sama dengan TPPI. “Kalau diberikan RTM (right to match atau hak menyamakan penawar terendah), penghematan yang sama bisa kita berikan," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji menyatakan jika TPPI memenangkan tender, maka bisa memberikan penghematan hingga Rp450 miliar ke PLN. TPPI diketahui telah menawarkan harga BBM sekitar 103% dari harga patokan di Singapura (mid oil Platt's of Singapore/MOPS).
Harun melanjutkan, sebagai sesama BUMN, pihaknya mengingatkan PLN agar tidak salah melangkah dan nantinya menjadi permasalahan di belakang hari. “Kami tidak ingin PLN jadi merugi karena persoalan ini,” ujar dia.
Usut Kejanggalan
Protes atas tender PLN ini tidak hanya datang dari Pertamina saja. Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PKS Achmad Rilyadi mengatakan, pihaknya merekomendasikan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyelidiki kejanggalan tender minyak solar PLN tersebut.
Dalam pandangan Achmad, tidak selayaknya PLN memenangkan TPPI yang mempunyai kualitas minyak solar tidak sesuai spesifikasi tender, juga kewajiban utang hingga US$600 juta ke Pertamina. Dia pun berencana untuk mempertanyakan kemenangan TPPI itu dalam rapat-rapat Komisi VII DPR dengan BUMN tersebut.
Terkait masalah utang TPPI ke Pertamina, anggota Komisi VII DPR Romahurmuziy sebelumnya menjelaskan bahwa di dalam perjanjian kerja antara keduanya, TPPI tidak diperbolehkan menjual hasil kilangnya langsung kepada umum melainkan melalui Pertamina.
Oleh karena itu, tindakan PLN yang memenangkan TPPI dinilai akan menghambat penyelesaian utang TPPI kepada Pertamina. Romahurmuziy mengatakan, masalah TPPI ini sudah pernah diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PLN.
Akan tetapi, ujar dia, PLN bersikukuh tidak ada persyaratan sebagai rekanan yang tidak dipenuhi. “Atas hal tersebut dan dimenangkannya TPPI, saya akan tetap mengagendakan pemanggilan PLN dalam topik efisiensi, bersamaan dengan pembahasan anggaran subsidi,” ujar Romahurmuziy, Selasa kemarin.
info : http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politisiana&i=11201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar